Kamis, 05 September 2013

Burung-burung beracun dari Tanah Papua

                                           





                                        



                                        Tanah Papua tidak hanya menjadi habitat bagi berbagai burung surga (bird of paradise) dan langka, tetapi juga habitat bagi beberapa burung unik seperti paruh sabit coklat (Epimachus meyeri) yang pernah menipu pasukan Jepang hingga kocar-kacir karena kicauannya mirip senapan mesin Bukan hanya itu, di Papua juga terdapat burung pitohui yang tercatat dalam Guinness Book of World Record sebagai salah satu burung paling beracun di dunia. Seperti apakah burung pitohui itu?
Burung pitohui sebenarnya memiliki suara yang indah. Tetapi karena pada permukaan kulit dan bulu-bulunya terdapat racun, maka orang-orang jarang atau tidak berani menangkapnya. Kalau pun dijual, siapa yang mau membeli burung beracun? He.. he.. he.., rupanya inilah cara alami meredam aksi perburuan burung-burung di hutan. Faktanya, populasi burung pitohui di alam liar relatif aman.
Pitohui terdiri atas enam spesies, yang semuanya berada dalam genus Pitohui, dan keluarga Pachycphalidae. Mereka merupakan burung endemik di Tanah Papua, baik di Provinsi Papua dan Papua Barat (Indonesia) maupun negeri tetangga, Papua Nugini  Sebagian spesies juga ditemukan di Kepulauan Aru.
Berikut ini enam spesies burung pitohui :
  1. Variable pitohui (Pitohui kirhocephalus)
  2. Hooded pitohui  (Pitohui dichrous)
  3. White-bellied pitohui (Pitohui incertus)
  4. Rusty pitohui (Pitohui ferrugineus)
  5. Crested pitohui  (Pitohui cristatus)
  6. Black pitohui (Pitohui nigrescens)
Keenam spesies tersebut sama-sama beracun. Yang pertama kali diidentifikasi sebagai burung beracun adalah hooded pitohui, diikuti variable pitohui dan rusty pitohui.
Burung hooded pitohui memiliki warna-warna yang lebih cerah daripada spesies lainnya. Seperti binatang beracun lainnya, pitohui juga memancarkan bau busuk.
Burung ini juga sering menggunakan racunnya untuk menjaga telur-telur dari mangsa binatang predator, yaitu dengan cara menggesekan racun yang berada di tubuhnya pada telur-telurnya.







Racun yang terdapat pada permukaan kulit dan bulu-bulu burung ini termasuk kategori neurotoxin (racun yang menyerang jaringan otak) yang disebut homobatrachotoxin. Bahan kimia ini sebenarnya racun alami dan paling kuat yang pernah dikenal manusia.
Hasil penelitian menunjukkan, tikus yang disuntik neurotoxin seketika itu juga langsung mati. Untuk sebagian besar burung yang menyentuh racun ini bisa menyebabkan mati rasa dan kesemutan, bersin, dan gejala minor lainnya. Efek serius seperti kelumpuhan dan kematian akan terjadi jika sering terjadi kontak dengan racun ini.

Rabu, 04 September 2013

Peneliti AS Tertarik Burung Endemik Flores

                    


                
                 Belum banyak yang diketahui tentang burung-burung yang secara endemik hanya ditemukan di wilayah Flores, Nusa Tenggara Timur. Sedikitnya literatur dan informasi tentang unggas-unggas itu menarik seorang peneliti burung asal Amerika Serikat, Pamela Rasmussen, untuk mengamatinya.
Rasmussen mengunjungi Flores pada Minggu (29/7/2012) hingga Selasa (31/7/2012) untuk mengamati burung endemik di Flores bagian barat yakni di  Kabupaten Manggarai Barat, Manggarai dan Manggarai Timur, termasuk di Hutan Lolo (Puarlolo) di kawasan Hutan Mbeliling, Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat, Flores Bagian Barat, Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Samuel Rabenak, staf Burung Indonesia, sekaligus pemandu dan pengamat burung di wilayah NTT, menjelaskan, Rasmussen juga berencana mengamati burung di sekitar Danau Ranamese, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur sekaligus melakukan trekking di Taman Wisata Hutan Ranamese.
Setelah itu, Rasmussen berencana melanjutkan pengamatan burung khas Flores di Gunung Lusang, atau Golo Lusang, di Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai.
Sebelumnya, peneliti burung ini melakukan pengamatan burung endemik Nusa Tenggara Timur di Pulau Timor dan Sumba. Seperti biasanya, selain melakukan pengamatan, Rasmussen juga akan merekam suara burung untuk melengkapi pengamatannya.

Jumat, 30 Agustus 2013

oposum layang

         



                                      Oposum layang adalah salah satu famili Petauridae yang tergolong ordo Marsupialia. Penyebaran hewan ini meliputi Australia, Tasmania, dan Papua New Guinea termasuk di Papua dan Halmahera Utara. Hewan ini memiliki ciri-ciri yaitu sebagian besar bulunya berwarna coklat keabuan, garis hitam memanjang, dari hidung hingga punggung, garis ini juga ada pada bagian wajah dari mata ke telinga.
Hal unik dari Oposum layang adalah hewan ini memiliki membran kulit di bagian samping yang membentang dari kaki depan hingga belakang sehingga dengan mengembangkan tersebut, Oposum dapat melayang dari pohon ke pohon yang lain.
Oposum layang termasuk hewan omnivora. Makanannya berupa serbuk sari, madu bunga, hewan invertebrata, dan vertebrata kecil. Oposum layang ketika melayang dapat menangkap makanannya berupa ngengat yang terbang. Warga suku setempat sempat mempercayai bahwa Oposum merupakan jelmaan penyihir karena mengendap-endap pada malam hari.

Saat ini perburuan Oposum layang langsung dari alam untuk tujuan perdagangan sering dilakukan. Hal ini dapat menyebabkan keberagaman hewan tersebut terancam. Untuk itu harus segera dilakukan usaha konservasi baik secara ex situ maupun in situ. Pemeliharaan di penangkaran merupakan salah satu sistem pelestarian secara ex situ, dalam hal ini perlu diupayakan habitat yang mendekati habitat aslinya. Begitu pula pelestarian secara in situ, kita harus menjaga habitat aslinya dan melestarikannya.